
Dilansir dari cnbcindonesia.com – Volatilitas harga emas masih berlanjut pada hari ini. Pada Selasa (22/3/2022) pukul 14:09 WIB, harga emas dunia di pasar spot berada di US$ 1.934,26/troy ons. Melemah 0,09% dari hari sebelumnya. Emas bergerak turun setelah sempat menguat pada perdagangan kemarin dan berlanjut pagi tadi. Pada pukul 06:37 WIB, harga emas di pasar spot naik 0,03%.
Baca Sempet Turun, Emas Dikabarkan Mau Naik Lagi!.
Pekan lalu, harga emas sempat naik pada Rabu (16/3/2022) dan terus menguat pada perdagangan Kamis (17/3/2022) hingga ditutup pada level US$ 1.942,64/troy ons. Namun, emas melemah pada perdagangan Jumat (18/3/2022) ke level US$ 1.921,09/troy ons. Dalam sepekan, emas sudah naik tipis 0,3% point to point, dalam sebulan naik 1,9% dan meningkat 12% dalam setahun.
Harga Emas (US$/Troy Ons)

Pekan lalu, harga emas sempat naik pada Rabu (16/3) dan terus menguat pada perdagangan Kamis (17/3) hingga ditutup pada level US$ 1.942,64/troy ons. Namun, emas melemah pada perdagangan Jumat (18/3) ke level US$ 1.921,09/troy ons.
Wang Tao, Analis Pasar Reuters mengatakan emas tengah menguji titik resistensinya di US$1.941/troy ons. Kenaikan di atas level tersebut bisa membawa emas ke kisaran US$ 1.948-1.960/troy ons.
Lompatan harga dari titik rendahnya di US$ 1.894,70 pada Rabu (16/3) mungkin akan membentuk tiga gelombang. Gelombang [c] membawa emas ke harga US$ 1.948-1.960.
“Volatilitas mungkin masih bertahan hingga beberapa hari ke depan,” tutur Wang Tao, seperti dikutip dari Reuters.
Titik support emas kini ada di US$ 1.929/troy ons, pergerakan ke bawah bisa membawa emas ke pelemahan lebih jauh ke level US$ 1.917-1.922/troy ons.
Sebelumnya, Rahul Kalantri, VP Commodities, Mehta Equities mengatakan pergerakan emas yang volatile pada dua minggu terakhir disinyalir karena investor masih mengamati perkembangan di Rusia Ukraina sembari melakukan price in terhadap dampak kenaikan the Fed terhadap harga emas. Sebagai catatan, harga emas terjun pada pekan lalu karena stance The Fed yang hawkish.
“Harga emas akan terus volatile karena ada pengaruh geopolitik, Covid-19, kebijakan moneter yang ketat di tingkat global serta naiknya inflasi,” tutur Rahul, seperti dikutip Moneycontrol.